- Back to Home »
- Para Penantang Ombak
Posted by : Nae
Kamis, 29 Agustus 2013
Hari ini, saya akan menceritakan sedikit pengalaman beberapa bulan lalu ketika menjelajah bumi Tarsius (Sulawesi). Cerita ini bermula ketika saya mengikuti sebuah proyek penelitian skala nasional yang tidak mendapatkan support dana dari pemerintah pusat. Jadi bisa dibilang, kami para tim peneliti yang diterjunkan untuk melakukan penelitian ini adalah volunteer. Tidak disupport dari segi materi dan peralatan. ini terbilang penelitian yang super nekat. Saya dan tim peneliti lain yang notabenenya masih berstatus mahasiswa juga melakukan pendataan potensi sumber daya alam di sulawesi bagian utara, tepatnya di kabupaten kepulauan sangihe. Perjalanan penelitian ini akan memakan waktu sekitar lima bulan, sebelum akhirnya kami akan kembali ke universitas masing-masing. Awal perjalanan kami terhitung pada tanggal 9 maret 2013 dan akan berakhir pada tanggal 7 juli 2013.
Oiya, untuk sekedar diketahui bahwa
penelitian ini dilakukan bekerjasama langsung dengan beberapa universitas
negeri dan swasta, serta para militer. Jadi kami mahasiswa selaku tim peneliti
didampingi oleh militer seperti brimob, kopassus, raider, paskhas, dan marinir
untuk mengambil data di lapangan. Keren kan ? hehe
Tujuan utama eksplorasi kami adalah kabupaten
kepulauan sangihe. Perlu diketahui bahwa kabupaten ini adalah kabupaten yang
terdiri gugusan pulau-pulau kecil. Kabupaten kepulauan sangihe juga merupakan
beranda terdepan republik ini yang berbatasan langsung dengan Filipina. Yah,
pulau Marore adalah salah satu pulau terdepan yang berhadapan langsung dengan
Filipina. Ajaib, sebelumnya saya tidak pernah berpikir untuk terdampar di ujung
negeri ini. Bahkan saya baru tahu jika ada kabupaten sangihe setelah saya
mengikuti kegiatan ini. Benar-benar nekat,main terima tawaran tanpa tahu di mana akan ditempatkan.
Perjalanan ini nekad karena saya harus berpisah dengan keluarga yang jauh di pusat kota jakarta selama lima bulan. Menyelami kehidupan di pulau kecil dengan segala keterbatasan. serta berpacu dengan alam. menyebrangi pulau, menantang ombak demi data.
Tak terasa tiga bulan sudah kami mengelilingi
pulau sangihe dan pulau-pulau di sekitarnya. Banyak hal unik dan menarik yang
kami temukan. Mulai dari karakter masyarakatnya, budaya, hasil temuan mineral,
flora dan fauna, hingga pemandangan-pemandangan alam yang menakjubkan.Setiap
hari kami dihadapkan pada pantai dan lautan, tapi kami tak pernah bosan untuk
menikmatinya. Tak hanya menikmati pemandangannya, namun hampir setiap hari kami
snorkling, sudah tidak peduli lagi apa jadinya warna kulit yang semakin
eksotik. Dari lubuk hati yang paling dalam, aku mengatakan jujur sejujurnya
bahwa aku sangat menyukai perjalanan ini, aku sangat menikmati penelitian ini,
dan aku jatuh cinta pada Sangihe.
inilah beberapa foto perjalanan kami di sangihe,
(foto : Irhansyah) Merah putih selalu menemani kami, karena kami membawa misi nasional.
(foto : Anindita) pulau bukide batu
(foto : Nae) senja di pulau tinakareng
Proyek penelitian kali ini bisa dibilang
penelitian yang paling santai. Penelitian sambil travelling. Oiya guys, ini
bukan promosi atau apapun itu, ini fakta selama saya di sangihe. Satu-satunya
signal operator telepon seluler yang mendukung komunikasi kami hanya signal
telkomsel. Meskipun ada signal operator lain namun jangkauannya tidak sejauh
jangkauan signal telkomsel. Fakta uniknya, ketika kami masuk hutan Sahandarumang
pada ketinggian 800 mdpl, saya masih bisa mengakses internet dan eksis di media
sosial. Ini sangat mendukung dari segi pengamanan, jadi jika terjadi sesuatu dengan
kami, kami bisa langsung menghubungi posko untuk segera mengirimkan pertolongan
pada kami. I would like thank you so much to telkomsel for supoort us.
***
Pada pertengahan bulan Mei, kami sudah khatam
dengan seluk beluk jalan, hutan, dan pulau yang ada di sekitar pulau sangihe.
Komandan militer yang berhubungan langsung dengan tim ahli yang diada di pulau
jawa juga mengatakan bahwa tugas penelitian kami sudah selesai. Waktu yang
tersisa digunakan untuk menulis laporan hasil penelitian. Namun komandan
berinisatif lain, tanpa sepengetahuan tim ahli, beliau menyaranakan kami untuk
melakukan eksplorasi di kabupaten Talaud. Kabupaten yang bertetangga langsung
dengan kabupaten kepulauan Sangihe. Sebenarnya kedua kabupaten inilah yang
berbatasan langsung dengan Filipina. Jika kabupaten kepulauan sangihe punya
pulau Marore, maka kabupaten Talaud punya pulau Miangas yang berhadapan
langsung dengan Mindanao, Filipina.
19 Mei 2013 pukul 18.30 WITA saya dan tim
berangkat menuju pulau Karakelang yang menjadi tujuan eksplorasi kami
berikutnya. Tim peneliti terdiri dari saya (UIN jkt), Ozi (UIN jkt), kak
Irhansyah (UIN jogja), mas Anil (UIN Malang) Anto (UGM), dan kak Fitri (UNPAD). Sedangkan
militernya terdiri dari pak mayor Daroji
(kostrad), kaka urbanus (Raider 100 Medan), Roki (Raider 100 Medan), dan kak
imam (Brimob resimen II pelopor). Kami berangkat menumpang di kapal Meliku
nusa. GRATIS !! berkat lobi dari para militer. Kapal ini kecil, sehingga
mungkin hanya bisa memuat ratusan orang. Perjalanan menuju pulau karakelang
ditempuh selama 20 jam. Pemandangan di dalam kapal, sulit dijelaskan. Suhu di
dalam dek kapal seperti suhu di ruang sauna,
memaksa keringat untuk terus mengalir. Para penumang kapal bertumpuk dengan
barang bawaan mereka, bergabung juga dengan hewan-hewan bawaan yang diikat di
samping tempat tidur mereka. Oh Tuhan, mereka tidur di dalam suasana seperti
itu, berdampingan dengan hewan seperti burung, ayam, anjing, bahkan ada yang
membawa anak babi. Saya tak mau tidur di
tempat tidur yang sudah disediakan untuk kami. Saya dan teman-teman lebih
memilih duduk di bagian atas kapal, meskipun angin bertiup kencang dan ombak
yang sudah mulai beradu dengan kapal. Yang penting isi perut kami tidak
terpancing dengan bau kotoran hewan di dalam dek kapal.
Setelah mampir di pelabuhan mangarang dan
lirung, akhirnya kami menginjakkan kaki di pulau karakelang. Hellow karakelang island, saya
menyapa dalam hati. Kami langsung melobi untuk dijemput oleh militer setempat
agar irit biaya akomodasi. Kami dijemput dan diantar oleh mobil Angkatan Laut
setempat menuju koramil Melonguane untuk menginap di sana. Setelah menginap dua
malam, proses lobi melobi dengan pemerintah setempat sudah selesai, rencana
perjalanan sudah matang, kami bergerak menuju desa Bantane menggunakan mobil
angkatan laut yang sama. Hasil lobi melobi dengan pemerintah setempat tidak
berbuah manis, pemerintah setempat mengizinkan kami untuk melakukan eksplorasi.
Namun kami tidak didukung sama sekali, kondisi ini jelas berbeda dengan kondisi
kami di sangihe. Hal ini membuat kami berpikir keras dan melakukan perhitungan
dengan matang untuk mengeluarkan biaya.
Dengan keterbatasan biaya, tim kami masih
tetap solid untuk menjalankan tugas ini. Ekpolrasi pertama kami di hutan
lindung yang berada di desa Bantane. Perjalanan seharian membuahkan hasil yang
luar biasa, selain mendapatkan banyak temuan, kami juga menemukan pohon tidur
burung sampiri (Nuri Talaud). Ini terjadi di luar prediksi, menyaksikan sekitar 300 burung
sampiri tidur di pohon yang sama. Di sampingnya juga terdapat pohon besar yang
menjadi pohon tidur bagi ratusan burung kumkum (dalam bahasa talaud). Wow,
amazing found, lelah hari ini terbayar dengan pemandangan ratusan burung
cantik berwarna merah dan putih tersebut. Mulut bungkam, tak ada sedikit
katapun terucap menyaksikan pemandangan langka itu. Perasaan senang bukan main,
Pulangnya, kami harus berjalan sekitar tiga
jam untuk sampai di camp. Hanya orang di paling depan dan belakang yang
memegang senter, selebihnya tak ada yang membawa senter. Karena rencana awal
kami akan pulang sebelum gelap datang. Namun ini terjadi di luar rencana.
Perjalanan ini beragam, kami harus turun tebing curam setinggi + 20 m
dan menitipkan keselamatan kami pada batang-batang miranti yang merambat dan
rotan-rotan liar. Sesekali ada teriakan kecil dari ka fitri, bunyi penyusun
tebing yang lepas. Saya sampai menangis karena akar-akar gantung yang saya
pegang terputus sehingga saya terjun bebas. Teriakan saya membuat semuanya
kaget dan tercengang. Beruntung badan kecil saya tersangkut di pohon. Hiks hiks.
Itu belum berakhir guys, kami harus menyusuri kurang lebih satu jam setengah
sungai dengan kaki tanpa alas. Karena sepatu akan berat bila dalam kondisi
basah. Kami bertarung melawan gelap hingga sampai di camp dengan selamat.
Alhamdulillah. J
***
Aku dan Ozi melakukan negosiasi dengan sebuah
organisasi Komunitas pecinta alam karakelang (KOMPAK). Unik yah singkatannya.
Hasil negosiasi membuat mereka setuju menjadi guide kami untuk mengeksplorasi
kawasan suakamargasatwa karakelang bagian utara. Mereka mau mengantar kami
dengan cuma-cuma. Sekali lagi, GRATIS !! Ini berkat bantuan pak Michael Wangko
(biasanya dipanggil daddy) dan Ibu Tirza Sarendeng (biasanya dipanggil bunda). Perjalanan
dimulai dari tanggal 25-27Mei 2013. Perjalanan menuju lokasi berikutnya di desa
Binalang ditempuh sekitar 9 jam. 3 jam menggunakan mobil, 1 jam sosialisasi dengan
perangkat desa Binalang, 4 jam menyusuri sungai, 1 jam menyusuri kawasan hutan.
Begitu juga dengan perjalanan pulang. Alhasil Kami semua mengidap penyakit yang
sama, KUTU AIR. shit !! Seumur hidup, baru kali ini saya merasakan yang namanya kutu
air. Rasanya kaki tidak ingin digunakan untuk berjalan apalagi terkena air, sakitnya
terasa sampai ke ubun-ubun. *serius*
Perjalanan di suaka margasatwa karakelang
sudah komplit. Sebenarnya waktu eksplorasi kami di Talaud juga sudah selesai,
kami harus kembali ke posko di pulau sangihe. Namun saya dan beberapa teman peneliti
mempertimbangkan untuk kembali minggu depan. Deadline laporan masih jauh di
akhir bulan Juni. Sayang jika sudah sampai di tempat yang sejauh ini, tapi yang
dieksplor hanya sedikit. Akhirnya kami terpisah menjadi dua tim, pak mayor dan
kawan-kawan kembali ke pulau Sangihe. Sedangkan saya, dan lima orang lainnya nekat memilih untuk tetap di pulau karakelang.
Kutu air belum sembuh, kami sudah harus
berangkat lagi untuk menyaksikan festival budaya mane’e di pulau intata. Pulau
ini masih termasuk bagian dari kabupaten Talaud. Bunda, wanita dengan usia yang
sudah mencapai 50 tahun itu, memilih untuk menemani kami. Semua yang berkaitan
dengan akomodasi kami ditanggung olehnya. Selasa, 28 Mei 2013 tepat pukul tiga
sore, kami menumang kapal feri gratis yang sudah disiapkan oleh dinas
pariwisata setempat. Perjalanan 6 jam, bertaruh dengan ombak dan angin malam. Hal ini
tak membuat kami berdiam diri di dalam kapal. Kami bersama bunda naik di bagian
atas kapal. Dinner together in the dark,
dan menyaksikan pesona langit malam, bertaburan binti-bintik cahaya bintang.
Wow,,, u never find it in jakarta. Kami tiba di pulau kakorotang pukul 21.00
WITA. Kutu air yang masih belum bersahabat, membuat gaya jalan saya semakin pincang. Saya
masih harus laporan di depan kamera, mewawancarai para tetua adat, bupati, dan
para peserta pengisi acara festival budaya mane’e. Oh god, butiran pasir yang
menyelinap di sela-sela jari kaki terasa sangat perih. Ingin cepat-cepat hari
ini berakhir dan mimpi indah di balik selimut.
Keesokan harinya, 29 Mei 2013. Kami bangun
pagi-pagi sekali. Tidak pakai mandi, hanya sikat gigi dan cuci muka. Kami
langsung menyebrang ke pulau intata untuk meliput persiapan acara festival
tersebut. Festival mane’e adalah budaya menangkap ikan menggunakana janur,
budaya ini dilestarikan turun-temurun oleh nenek moyang orang Talaud. Rangkaian
acaranya meliputi penyambungan janur yang sangat panjang, entah berapa
panjangnya. Diteruskan dengan kata-kata adat oleh ratumbanua (tetua adat).
Kemudian janur baru dilepaskan pukul 10.00 WITA. Setelah itu janur ditarik ke
arah darat diikuti oleh pergerakan ikan mengikuti pergerakan janur. Air laut pun
semakin surut. Alhasil ikan yang terperangkap sangat banyak. Warga yang hadir
dalam festival tersebut sudah antusias memperebutkan ikan tanpa menggunakan
alat tangkap ikan. Di sinilah letak keunikannya.
Selain menyaksikan budaya mane’e, kami juga
menyaksikan panorama indah yang disajikan dari talaud. Foto-foto ini menjadi
bukti kami pernah menginjakkan kaki di surga terpencil dari sulawesi utara.
(foto : Irhansyah)(Kiri ke kana) saya, Ozi, Anto, dan Kak fitri.
(Foto : Ozi)(Kiri ke kanan) saya, anto, ka fitri.
(foto : Nae) Penarikan janur, festival budaya Mane'e
(foto : Irhansyah) Lautan talaud tanpa sampah.
Inilah salah satu foto kami di pulau Intata,
Kabupaten Talaud.
Yang jongkok ka Irhansayh (baju orange), Anto
(baju biru), ka imam (baju polisi), Ozi, Saya, ka Fitri, dan Bunda.
Perjalanan di pulau Intata mempertemukan kami
dengan kru trans7 dari acara dunia hewan. Mereka juga ikut meliput budaya
mane’e. Kami banyak berbincang dengan mereka. Bunda menceritakan tentang alasan
kami datang ke Talaud. Dan teman-teman dari Trans7 tertarik untuk meliput pohon
tidur burung sampiri yang kami temukan.
Perjalanan selanjutnya, menemani teman-teman
trans7 shooting pohon tidur burung sampiri di medan terjal yang kemarin.
Setelah itu kami mengunjungi goa totomabatu yang dipenuhi oleh tengkorak-tengkorak
manusia zaman dahulu. Kami juga mengunjungi goa bolang di hari yang sama. Goa yang
menjadi surga bagi para mamalia terbang, kelelawar.
Tak terasa, kami sudah harus kembali ke pulau
sangihe. 16 hari perjalanan maraton di kabupaten Talaud membuat kami menemukan keluarga
baru, para KOMPAKers. Menemukan dunia baru, budaya baru, dan surga tersembunyi
di ujung utara sulawesi. Terima kasih untuk daddy yang sudah memberikan
tumpangan tempat tidur untuk kami, bunda yang sudah menemani perjalanan kami
dan membebaskan kami dari biaya transpotrasi, teman-teman kompak yang selalu
membantu kami dalam hal apapun. Terima kasih juga untuk kapal meliku musa yang memberikan tumpangan penyebrangan pada kami secara gratis. terima kasih alam Talaud yang berhasil membungkam mulut kami dengan keindahannya. Terima kasih juga untuk tim peneliti tangguh, kalian para penantang ombak yang hebat. Terima kasih banyak semuanya.
sobat traveller juga bisa baca cerita Nekad Traveller lainnya di telkomsel.com/nekadtraveler atau juga nonton vidio serunya di tsel.me/TVCNekadTraveler
Waw pantainya keren-keren...... Cerita yang bisa bikin aku mupeng, suatu hari nanti aku pasti bisa kesana juga :D
BalasHapusBaca juga kisah nekadku: Liburan: Wisata Alam Sekitar Jember Saat Puasa Sampai ke Bali, Perjuangan Nekad Warga Jember Demi Jember Fashion Carnaval, dan Main di Bekasi Seminggu Dengan Modal Rp 400ribu (2009).
Makasih…
amiinnn,, kalo mau ke sana, calling saya yah. saya bisa menjadi guide yang baik, hehehe
BalasHapusoke deh, nanti saya baca, :)
salam para pelancong
congratulation...
BalasHapusekspedisi yang hebat...